Pertengahan Agustus yang Selalu Terasa Emosional

 


Memasuki pertengahan Agustus, rasanya selalu lebih emosional dari biasanya. Selain memang sudah masuk periode PMS, pertengahan Agustus itu punya memori monumental yang sebenarnya nggak bisa dibilang membahagiakan, ya. Dua tahun lalu, di pertengahan Agustus 2021, saat sedang asyik-asyiknya remote working dari Bandung, saya dan tim kena layoff dari perusahaan online media yang mempekerjakan kami. Katanya waktu itu, perusahaan mau berubah arah, sehingga posisi-posisi yang tidak lagi sesuai perlu ‘disesuaikan’ juga. 


Soal pengalaman kena layoff ini sebetulnya saya sudah pernah cerita di platform Jenius CoCreate, tapi ada banyak hal terjadi pula setelah tulisan itu published. Waktu itu saya juga nggak cerita mendetail soal linglungnya saya sehari setelah PHK, kehilangan pekerjaan, dan bagian dari statistik pegangguran pandemi yang angkanya nggak turun-turun. 

 

Waktu itu terjadi, sih, saya bengong aja, ya. Ketika pengumuman itu diutarakan pak CEO di virtual townhall meeting kami, saya juga cuma bisa membatin, “Hah, besok gue udah jadi pengangguran, nih? Pengangguran yang kena PHK?”

 

Keputusan itu sebetulnya berlaku lebih cepat dari yang saya kira. Sepanjang hari di tanggal 18 Agustus 2021 itu, satu per satu dari kami menerima e-mail dari HRD, dan satu per satu pula kami saling mengabari siapa saja yang sudah ‘gugur.’  Tentu saja saya mewek. Terlalu cinta rupanya saya sama pekerjaan itu.

 

Lucunya, sebetulnya di hari tersebut saya dan salah satu rekan kerja saya, tuh, masih ada jadwal nge-host di IG Live Womantalk. Kathy, rekan kerja saya itu, live dengan Denny Sumargo jelang petang, sementara saya dijadwalkan live dengan Monalisa Sembor sekitar jam tujuh malam. Aneh banget rasanya sudah dipecat tapi masih ada tanggung jawab yang tertinggal begitu, hahaha. 

 

Masih punya tanggung jawab untuk melangsungkan IG Live meski sudah non aktif itu rupanya perasaan aneh pertama dari rentetan ‘perasaan aneh’ (dan asing) lain yang akan mengikuti setelahnya. Misalnya saja, saat bangun tidur keesokan paginya, rasanya aneh banget nggak punya bayangan mau ngapain. Kurang dari 24 jam lalu saya masih punya rutinitas professional yang berjalan seperti biasa, kemudian mendadak bingung dengan ketersediaan waktu yang ada, sementara saya nggak ada kerjaan yang perlu dilakukan.

 

Pagi itu saya bangun tidur jelang jam enam seperti biasa. Setelah bengong-bengong dan bingung-bingung mau ngapain, akhirnya saya stretching ringan dan pakai sepatu lari. Saya lantas berlari menuju De.U Coffee di Dipatiukur Bandung. 

 

Ngomong-ngomong, dari tempat tinggal saya di Ciumbuleuit ke Dipatiukur itu jalurnya menurun, jadi buat kembali lagi, ya, perlu menanjak. Biasanya, sih, saya naik ojek saja buat pulang, tapi hari itu saya lagi in the mood untuk berfilosofi, jadi saya jalan kaki untuk kembali ke apartemen. Yah, rasanya sebelas-dua belas lah dengan fase hidup yang sedang terjun bebas tanpa tedeng aling-aling kala itu, hahaha. 


Dua tahun setelah kejadian itu, saya sendiri merasa masih melalui jalur yang terus menanjak. Kadang banyak kerikilnya juga sehingga bikin jengkel. Kadang berpasir dan bikin emosi seperti waktu saya mendaki Rinjani di pertengahan Juli lalu. Ada kalanya juga saya papasan dengan para kawan lama yang karib, lalu jadi bertukar cerita dan saling menyemangati. Saya juga singgah ke tempat yang cukup menyenangkan untuk rehat dan melakukan hal yang saya gemari, tapi tetap saja rasanya saya belum sampai ke ‘rumah.’ 


Mungkin saya nyasar, bisa jadi juga saya sebetulnya sudah kebablasan. Merasa hilang arah, rasanya saya perlu peta baru yang gambar dan petunjuk arahnya lebih jelas serta nggak buram.

 

Saat ini, sebetulnya itu juga tujuan utama saya memilih career break: untuk menemukan clarity dalam melihat berbagai hal, dan memperkuat lagi akar diri agar nggak tumbang diterpa badai. Jalan-jalan, ngobrol dengan teman-teman lama lagi, juga ketemu orang-orang baru yang satu minat dan sekufu, adalah jalan ninjaku untuk minggir sejenak dari dunia kapitalis wkwkwkw. 

 

Kalau dulu rasanya saya ambisius dan ngegas banget sampai MBTI test result saya ENTJ melulu, berbagai hal yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini rasanya mengubah saya untuk jadi lebih memeluk ketidakpastian. Meski masih ada kekesalan-kekesalan dan kekecewaan-kekecewaan akibat benturan dengan orang-orang gila, perempuan Pisces yang sekarang MBTI result-nya menjadi ENFJ ini juga belajar untuk lebih sering mengalah dan memperjelas batasan. Ya, ngapain, capek sendiri aja meladeni orang gila. Ya, kan?

 

Semoga saja, saya diberkati kesehatan lahir dan batin selalu, supaya bisa tetap waras untuk melewati tanjakan yang belum habis-habis ini. Aamiin.

 

 

Jakarta, 14 Agustus 2023

Comments

Popular Posts