Katanya Sedang Career Break, kok, Masih Freelance-an?

 


Sehari jelang HUT RI Ke-78 lalu, sebuah notifikasi masuk ke ponsel saya. Instagram memberi tahu bahwa akun Sukkhacitta baru saja menandai saya di unggahan terbaru mereka. Unggahan itu menampilkan sosok Garin Nugroho dan Kamila Andini di salah satu sudut Museum MACAN. Dua orang berpengaruh di industri perfilman tanah air itu mengenakan busana dari label tekstil berkelanjutan tersebut, dan dipotret untuk salah satu artikel yang saya tulis untuk Majalah Dewi tahun lalu. 

 

Tentu saya merasa senang karena mereka menyertakan nama saya, tetapi yang membuat saya semringah adalah caption yang mereka tulis untuk unggahan tersebut. Bunyi caption tersebut, “Freedom is knowing what matters to you.”





Mungkin memang ini kebetulan belaka. Toh, unggahan itu memang ditayangkan dalam momentum kemerdekaan RI.  Meski demikan, bisa jadi juga Semesta sedang menunjukkan tanda-tandanya untuk bilang bahwa saat ini saya sudah berada di jalur yang tepat. Saat ini saya memang sedang merasa cukup merdeka dengan kemampuan ‘melihat’ berbagai hal dengan lebih jernih, termasuk soal apa-apa saja yang saya rasa penting dalam hidup.

Belakangan ini, ketika ditanya saat ini kerja di mana, jawaban saya tentu, “Nggak dimana-mana. Saya lagi career break.” Kerumitan muncul kalau si penanya lanjut mendalami, “Lho, maksudnya gimana? Masih muda kok sudah berhenti kerja?”

 

Pertanyaan semacam ini banyak saya temui dari beberapa golongan dan tipe orang (disclaimer: data begini ini didapat dari pengalaman pribadi yaa). Pertama dari golongan orang yang jauh lebih senior dari saya. Kedua, dari kalangan pegawai negeri. Ketiga, dari mereka yang tipikalnya kepo keterlaluan aja. 

 

Sebelum lanjut, saya mau bilang terima kasih dulu, nih, buat kalian yang suportif banget dengan situasi, kondisi diri, dan latar belakang saya memutuskan untuk career break ini. You know who you are lah. Thank you so much, saya sayang kalian, dan bersyukur punya kalian. Sungguh.

 

Oke, balik lagi yang sedang dibahas. Kejadiannya mungkin akan lebih mudah dan cepat kelar kalau ketika ditanya begitu tadi, saya jawabnya “nggak dimana-mana, sekarang lagi nganggur.” 


Masalahnya, realitasnya nggak begitu. Pertama saya nggak nganggur dalam artian nggak ngapa-ngapain banget; dan kedua, saya nggak nganggur dalam artian tidak melakukan kerja professional sama sekali. Ada juga alasan ketiga: saya nggak mau aja dianggap sebagai sampah masyarakat karena menganggur itu konotasinya jelek banget, meski ada berjuta-juta alasan valid kenapa seseorang ‘menganggur.’

 

Saya nggak nganggur dalam artian nggak ngapa-ngapain banget, karena saya cukup merencanakan momen ini. Jadi saya cukup mengisi waktu dengan berbagai kegiatan yang nggak hanya memberikan penyegaran, tetapi juga wawasan dan pengalaman baru (horray!)


Awal April lalu, misalnya, saya ikut kelas menulis yang diampu oleh Dewi Lestari. Ini saya lakukan supaya ‘muscle memory’ saya nggak kendor buat menuangkan gagasan. Saya juga ikut kelas itu supaya bisa ketemu orang-orang yang sama-sama suka menulis, baik itu buat hobi maupun untuk mendukung kegiatan professional. Hasilnya sesuai ekspektasi, saya beneran ketemu teman-teman baru yang menyenangkan, bahkan diajak bikin buku antologi dari kelas tersebut. 

 

Akhir April lalu, saya juga bepergian ke Banyuwangi di Jawa Timur, yang sudah lama sekali ingin saya datangi. Nggak pernah naik gunung, saya juga akhirnya hiking dan camping di Gunung Prau, Jawa Tengah. Dua rencana ini sebenarnya bagian dari misi saya mendaki Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang akhirnya terwujud juga di pertengahan Juli lalu (yay!). 


 Nggak pernah mendaki apalagi camping, semenjak pandemi saya jadi terpikir untuk menjajal dua hal itu sekaligus di Rinjani.

Saya juga nggak nganggur dalam artian nggak melakukan kerja professional apa-apa, karena saat ini masih ada proyek menulis yang sedang saya kerjakan. Jelang naik ke Rinjani, saya sempat mengerjakan tulisan freelance untuk media tempat kerja saya sebelum career break. Pulang dari Rinjani, saya sudah siap-siap lagi buat penugasan ke dua kabupaten dan kota di Sumatra Barat, untuk meliput program pemerintah yang sedang on-going di sana.

 

Terus, kenapa malah memilih kerja kalau niat awalnya mau rehat? Well, jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya saya temukan belum lama ini. Persisnya saat mengerjakan freelance untuk media tempat saya kerja sebelumnya. 


Waktu itu saya baru saja kelar mewawancarai salah satu figur publik tanah air. Dia bilang kalau sesi tersebut bikin dia happy karena ada beberapa hal yang dia baru sadari setelah saya tanyai. Komentar serupa sebenarnya saya kerap dapat juga dari orang-orang lain yang pernah saya wawancarai, tapi sebelumnya memang nggak pernah saya resapi sampai sanubari, hahaha.



Tugas meliput program pemerintah yang sedang saya kerjakan ini, juga memungkinkan saya untuk ketemu akademisi yang membina program tersebut. Selain jadi bisa jalan-jalan bareng, saya jadi bisa tukar gagasan, dan belajar banyak dari pengalaman dan latar belakang keilmuan mereka. 


Salah satu perjalanan profesional yang menyadarkan saya bahwa sebaik-baiknya pekerjaan yaitu yang imbal baliknya mutual.

Di situ saya jadi ingat lagi dan menemukan kembali diri saya. Tahu dari mana? Rasanya familier dan merasa berdaya (empowered) karena beberapa hal: pertama, saya merasa mampu menyelesaikan tantangannya; kedua, rasanya yang saya lakukan ini membawa dampak baik, karena dari obrolan yang terjadi bisa memberi refleksi personal ke diri para narsum. Akhirnya, muncul lagi kesadaran lama yang terlupakan itu, “Oh, iya, ya, pekerjaan seperti ini yang memang cocok buat saya.”

 

Sampai beberapa waktu lalu, saya kehilangan kejernihan berpikir yang membuat saya beberapa kali salah mengambil pilihan. Pandangan saya keruh, sampai nggak bisa melihat bahwa pengalaman yang pernah saya alami beberapa bulan lalu di awal 2023 itu sebenarnya beracun buat kewarasan.


Jadi, kenapa, sih, kok masih freelance-an kalas niatnya mau rehat karier? Well, kalau nggak career break begini, rasanya saya nggak punya ruang untuk bernapas. Terus aja dikejar target dan ekspektasi eksternal. Kalau nggak career break begini, saya pasti nggak punya kesempatan buat memilih, yang pada akhirnya membantu saya melihat lebih jernih. 

 

Enaknya masa-masa ini adalah saya bisa lebih tenang menjalani hidup yang berjalan perlahan, walaupun secara finansial juga melambat. Meski demikian, sejauh ini, sih, konsekuensinya masih sesuai rencana dan bisa saya tanggung. Saya masih menikmati, lah, masa-masa career break ini.

 

Lalu, apakah ke depannya saya mau lanjut jadi freelancer aja? Soal ini, seperti yang sudah saya bilang di tulisan sebelumnya, saat ini rasanya lebih realistis untuk memeluk ketidakpastian. Ngeri jelas, gentar sudah pasti. Tapi, lebih aman juga untuk menjaga ekspektasi, sembari saya menyusun puzzle rencana selanjutnya—yang pelan-pelan sudah mulai terbentuk.

 

Puji Tuhan, di bulan kemerdekaan ini rasanya saya cukup merdeka, meski ada beberapa hal yang masih diusahakan juga. Semoga saja, semua yang sudah diupayakan ini, nantinya bisa berbuah manis. Semoga juga saya bisa menemukan diri saya kembali. Semogaaa segala hal yang diupayakan dengan sepenuh hati ini bisa berbalas dan nggak bertepuk sebelah tangan, ya. Hahahaha

 

Jakarta, 18 Agustus 2023

Comments

Popular Posts