Apa Itu Privilege dan Benarkah Semua Orang Punya Hak Istimewa Masing-Masing?


Disclaimer: ini tulisan lama gue di womantalk.com yang tayang dengan judul sama pada 25 November 2019. April 2021, gue menemukan tulisan Kevin Seftian di Magdalene.co yang melakukan plagiarisme atas tulisan ini (dan satu tulisan lain). Kejadian ini berakhir damai dan dua tulisan yang di-copy paste itu sudah diturunkan, tapi gue mengunggah ulang tulisan ini di sini buat jaga-jaga kalau sewaktu-waktu website womantalk ditutup.


Belakangan ini pembahasan tentang privilege sedang banyak diperbincangkan, terutama di media sosial. Salah satunya ketika Presiden Jokowi memilih tujuh staf khusus (stafsus) yang merupakan generasi muda dari berbagai bidang, banyak yang menanggapi dengan komentar tentang privilege . Warganet menyangkutpautkan kesuksesan salah satu stafsus Presiden Jokowi, Putri Tanjung, yang tak lepas dari nama besar sang ayah yang tak lain adalah konglomerat pengusaha media di Indonesia, Chairul Tanjung.

Namun, salah satu dari tujuh anak muda itu, yaitu pendiri Kitongbisa Gracia Billy Mambrasar, menjawab tudingan privilege terhadap stafsus. Lewat cuitan di Twitter, Billy mengatakan tak punya privilege untuk menjadi orang yang berada di sekitar kekuasaan.

"Saya bukan anak dengan privilege! Saya anak miskin dari kampung," katanya dikutip dari akun Twitter @kitongbisa pada Minggu, 24 November 2019.


Apa itu privilege?

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata privilege —yang diserap ke Bahasa Indonesia menjadi “privilese”—berarti hak istimewa. Nah, persepsi tentang hak istimewa ini bisa mengacu pada banyak hal, tetapi seringkali privilege diartikan sebagai hak istimewa yang didapat seseorang yang lahir di kalangan keluarga elit. 


Saya sendiri mengartikan privilege sebagai sebuah head start. Privilege tidak menjamin kesuksesan, tetapi memperbesar peluang meraihnya dibanding orang lain yang tidak memilikinya. Sayang, kata privilege ini kini jadi terdengar ‘miring’ karena banyak yang mengaitkannya dengan ‘kunci emas’ yang otomatis bisa membuka segala pintu tanpa harus berusaha. Wah, nggak selalu benar itu.


Batasan yang cair

Dalam ilmu sosial, antropolog Ralph Linton pernah menyebutkan istilah assigned status dan ascribed status. Assigned status berarti status yang dimiliki seseorang karena lahir dari golongan tertentu, misalnya keturunan bangsawan atau berasal dari keluarga golongan elit. Sementara itu ascribed status dimiliki karena usaha seseorang itu dan tak ada hubungannya dengan keturunan. Bisa dibilang, privilege berlaku bagi orang-orang dengan assigned status ini.


Nah, meski keduanya punya definisi masing-masing, toh, Linton pun mengakui bahwa pada praktiknya tidak mudah menentukan apakah status—atau dalam hal ini adalah kesuksesan—seseorang itu didapat karena keturunan atau karena memang diupayakan. Bukan nggak mungkin, lho, yang terjadi adalah perpaduan keduanya.


***


Well, pada akhirnya, saya percaya privilege itu ada, dan kalau mau membawa-bawa perbandingan, rasanya setiap dari kita punya hak istimewa masing-masing. Ada yang bisa sukses karena dibantu jejaring orangtua, tetapi dalam hal lain ada juga yang diuntungkan karena lahir dari golongan mayoritas. Punya jabatan tertentu pun bisa membuka akses seseorang untuk mencapai tujuannya dengan lebih mudah.


Memang dalam beberapa kasus, privilege ini bisa membuat kita merasa hidup itu nggak adil. But, hey, it is not fair! Hidup memang nggak adil, tetapi sebaiknya kita nggak hanya melihat sukses dari situ saja. Saya juga setuju dengan Oprah Winfrey, yang berkata bahwa punya hak untuk menentukan sendiri jalan yang kita pilih adalah sebuah privilege yang sakral. Nggak semua dari kita punya privilege untuk lahir di keluarga elit, tetapi selama punya kemerdekaan menentukan jalan hidup kita sendiri, rasanya itu lebih dari cukup untuk disyukuri, kan?





Comments

Popular Posts